Jumat, 27 Februari 2015

Kembali sejenak ke Alam : Suku Baduy Banten

Diposting oleh Unknown



Pulang kerja jam 20.00 WIB hal biasa bagi para karyawan di Jakarta, termasuk saya. Jika ada yang bertanya “ gak capek Ta? Gak bosen Ta? Kalu Saya jawab tidak itu bohong. Bohong banget. Kalau teriak itu bikin otak saya bernafas rasanya. Ya udah Saya teriak sekenceng-kencengnya biar plong. Aaaaaaaaaaaaarrrrrrggggggggg. Minggu itu adalah hari yang ditunggu. Sangat ditunggu.

Hari rabu, OMG baru hari pertengahan. Saya pulang kerja agak malam karena harus menyelesaikan draft untuk meeting esok hari  dengan klien kantor kami.

Sesampai dirumah, ada Ratna yang kami akrab kami pangglil Mbak E karena kulitnya agak gelap dan perawakannya Jawa (padahal gak ada keturunan Jawa sama sekali). Berhubung gak ada komplein yang berlebihan kami tetap saja memanggilnya Mbak E dan dia pun tidak mempersalahkan. Ratna datang keasrama, karena belum niat untuk bebersih. Kami mengobrol hal-hal kecil diruang tamu. Berujunglah obrolan kami tentang traveling , tentunya naik gunung yang sekarang jadi hobi baru Mbak E.

Yuk, minggu ini anak-nak Belitung ngajak ke baduy lo, ikut gak? ajak Mbak E.  Ayuk atau Yuk itu adalah panggilan kepada Saya karena umur Saya lebih tua darinya. Dan para anak Belitung itu ada Ori, Rio, Rendi, dkk. Anggota Ikatan Pelajar Belitung (IKPB) di Jakarta. Kami bersahabat.

Saya mempertimbangkan ajakan  Mbak E.

 Orang Baduy (Orang Kanekes) adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).

Boleh, Mbak E. Perjalanan yang menarik, kata Saya. Terus apa yang harus dibawa Mbak? Mbak E lumayan berpengalaman karena sama hal nya dengan naik gunung juga  yang harus dipersiapkan.
Tenang Yuk, gak usah rempong-rempong bawa aja barang seperlunya seperti baju, makanan, jaket, obat pribadi, dll. Paparnya okay…yeeey Kita jalan-jalan lagi Mbak E, seru Saya senang. Yoiii, Mbak E mengiyakan rencana kami minggu ini. Berpetualang ke Suku Badui, Banten. Percakapan kami diakhiri dengan saya mau bersih-bersih langsung tidur dan Mbak E mau pergi ke asrama Toek Layang anak-anak Belitung yang dijemput oleh Ori untun nge-print proposal tugas akhirnya. Good luck mbak untuk tugas akhirnya. Keep spirit.
Melewati hari-hari seperti biasanya, kamis pun terlewati dan Jumat pun tiba. Hari itu saya izin pulang dari kantor lebih cepat. Alhamdulillah nya atasan saya mengizinkan. Tambah juga semangat Saya. Minggu yang menyenangkan traveling to Baduy.
Saya sudah mempersiapkan keperluan yang akan Saya bawa untuk pergi ke Badui, langsung saya berangkat dari kantor dan hanya mengganti baju saja. Kami janji ketemuan di stasiun Tanah Abang, karena kami akan berangkat dengan kereta api lokal Jakarta-Rangkas Bitung. Dan keberangkatannya dari stasiun Tanah Abang. Saya orang yang datang pertama kali di Tanah Abang, setelah menunggu setengah jam baru lah Mbak E muncul, sembari menunggu kawan-kawan Belitung kami membeli strowbery dan tahu krenyes untuk cemilan menunggu. setelah sekitar setengah jam cemilan habis dan kawan-kawan beliung pun belum kunjung datang. Mbak E sudah bebrapa kali mencoba menelpon dan mengirimkan sms, menanyakan mereka sudah sampai mana, tapi jawabnya “ Iya sudah hampir sampai. Saking kesalnya Mbak E mengomel” ini Mereka jadi gak si berangkatnya, dari tadi mau sampai hampir sampai, tapi gak sampai-sampai” omel Mbak.
Tunggu aja Mbak E, biasa lah orang melayu” kata Saya menyabarkan Mbak E.
Tak berapa lama Mbak E mengomel, terlihat Ori dan Randy dengan ransel besar dipunggungnya. Seperti traveler sejati sesungguhnya. Mereka menghampiri kami dan tidak menunggu lama kami langsung ke loket pembelian tiket.
Biar lah kak aku aja yang mengantri di loket kata Ori, saya akrab dipanggil kakak, ayuk umak oleh kawan-kawan Belitung ini.  Ya udah, Mbak E uangnya kasih ke Ori ya? Kemudian Mbak E ikut juga mengantri dibelakang Ori.
Saya dan Rendi menunggu di dekat pintu masuk. Tak berapa lama mereka menghampiri kami. Kak, dak de agik kereta yang berangkat dari sini,kita berangkat dari Stasiun Duri
Oke de kita beli tiket ke duri dulu baru beli tiket kereta lokal ke Rangkas Bitung nya. Saya oke-oke saja.
Kami pun berangkat ke Duri. Sesampai di Duri kami membeli tiket kereta api lokal. Yang pikiran saya tiketnya itu sekitar 50an ribu ternyata hanya 3ribu. Saya sempat gak percaya. Sebelumnya pun saya searching di internet dan baca pengalaman orang ke badui ada yang 25 rb, 15 rbu dan gak jelas juga. Saya tertawa d engan terawangan saya.

Tak berapa lama kereta terakhir ke rangkas bitung pun datang, kami naik. Dan penuh sekali, kereta ekonomi seperti kereta tahun 2010 pertama kali say anaik kereta, penuh, padat dan kotor tentunya. Kami tidak kedapatan tempat duudk. Kami pun dudum lesehan dibawah, menyender didinding gerbong dan dekat dengan pintumasuk. Orang berlalu lalang didepan kami, kami harus siap bertahan  dengan berbagai  keadaan seperti kaki yang gak sengaja menyenggol kami, bau-bau badan orang-orang pulang kerja, penjual asongan berlalu lalang, belum lagi saya dan mbak e cewek, mendapat lirikan-lirikan abang-bang, bapak-bapak yang matanya penyakitan itu. Genit.

Kami bernagkat ber empat, saya, mbak e , ori dn rendi, besok akan menyusul rio, edo dan bang ade.

Tiga jam kami di kereta menuju rangkas bitung, cukpu melelahkan karena sekitar 2 jam kami harus duduk lesehan terkadang harus berdiri dan satu jam terakhir baru mendapat kursi duduk. Recana awal kalau di kereta bisa tidur untuk mengumpulkan tenaga untuk perjalanan ke Badui.
-------------------------------
Tibalah kami di stasiun rangkas bitung, kami was-was angkot menuju desa cibeloger nya sudah tidak ada lagi. Ori terburu-buru langsung menuju angkot mangkal ternyata sudah habis memang. Tak putus asa, kami berempat berjalan menuju jalan raya dan bertanya kepada orang-orang yang ada, angkot menuju ciboleger masih ada atau tidak.

Kami pun mengikuti petunjuk Bapak-bapak yang sempat kami tanya tadi. Dan ternayta masih ada tapi bersimpat carteran. Saya dan Mbak E menurut saja pada Ori dan Rendi. Jam sudah malam juga sudah terlihat sepi pasar di jalan tersebut.

Bang, kalo ke ciboleger berapa ya? Ori bertanya pada sopir angkot yang ada distu
Wah, sebenarnya kalu ke ciboleger sudah tidak ada lagi angkotnya, ini kita ambil trek maling jadi kalu mau satu orangnya 30 ribu. Jelas sopirnya. Memang, tidak banyak lagi angkot yang ada disitu, dan juga bukan ngkot jurusan ke ciboleger

Ori dan rendi berusaha bernegosiasi dengn sopir tersebut, tapi sopir nya keukuh 30 rbu. Akhirnya pun kami menyerah, daripada gak ada lagi angkot dan gak mungkin juga kami harus menginap di pasar-pasar ini.hehehe,

Kami pun naik dan sopir melajuan angkotnya yang maling treknya.

Kami melewati perkampungan kabupaten rangkas bitung. Sepi. Sudah jauh terasa berebda dengan Jakarta yang ramai riuhnya. Suasana kampong pun mulai terasa dtimabah lagi sudah larut malam juga. Hanya sedikit orang-orang yang terlihat diluar rumah.

Bukan gelap yang bikin deg-degan dapi jalan dan cara sopir menyetri angkot sangatlah ugal-ugalan.

Saya, mbak e, dan ori  bercerita banyak di angkot mulai dar cerita kehiduan pribadi hingga persoalan Negara,hahha. Dan rendi diam saja, mungkin mengamati alam malam di sepnajang erkampungan menuju badui, pikir saya.

Bang maish lama gak? Tanya saya. Karena saya sudah agak mual-mual. Sekitar 1,5 jam lagi tej jawabnya. Yaaahh, keluh saya. Untuk sekedar mengalihkan rasa mual kami kembali bercerita.
Kak, pening ne kepala keluh ori. Dan ratna juaga mengeluh serupa. Kami dibawa dengan angkot yang super seperti pembalap saja ini sopir. Kami berbepanganan sekuatnya biar gak berhmburan didalm angkot. Ahhah. Asam lambung sepetinya naik juga, semakin mual. Rendi tetpa diam.

Perkampungan demi perkampungan dengan tikungan tajam, lubang-lubang bertaburan hingga kami harus berhamburan didalam angkot, kepala kepentok, duduk sudah gak jelas posisi duduknya.

Sampai juga di terminal ceboleger yang di simbolkan dnegan tugunya.  Sudah sepi, terlihat beberapa bapak-bapak yang duduk seperti ronda  malam di kampong itu. Setelah turun dari angkot dengan rasa bercampur mual, senang, pusing dan ngantuk.  Ransel-ransel sduah diats peunggung semua. Ya, siap untuk menuju badui yang katanya dari yang saya dapa serita, internet dll perjalanannya menanjak, batu-batuan tentunya gelap karena kami datang malam. Ini untuk pertamaklainya untuk kami berempat, jadi tidak seorang dari kami yang tahu tentang perjalan kebadu ini.

Ada seorang baka-bapak yang menghampiri kami. Tenyata di adala guide untu tamu-tamu yang mau ke badui. Dia menyambut kami denga ramah.

Selamat malam bang, sapannnnya mau keatas,? Dari mana dengan tujuan paa?
Ori yang jawab, saya dan mbak e dima pokonya, ngeri juga para cowok semua yang ada disitu.
Iya, bang kami mahasiswa yang ingin melakukan penelitian ke badui jelas ori dan rendi
Oh, yuk saya antar ke rumah pak lurah dulu untuk mengisi buku tamu.

Jam menunjukkan pukul 22.30, sudah sepi dan gelap. Begitulah perkampungan tanpa listrik. Kami mengikuti abang yang akan mengantarkan kami tersebut. Kami memperkenalkan diri juga,

Pak,  ini ada tamu mahasiswa mau ke badui luar? Katanya. Kami menunggu beberapa menit, kemudian seorang bapak yang akatnya lurah itu keluar dari rumah dengan mengenakan kain sarung dan kaos oblong berwarna putih. Gelap, tak ada pelita maupun lilin. Pak lurah tersebut membawa buku, kami mengucapkan selamat malam kepada bapak tersebut beliau langsung memberikan buku tamu meminta kami mengisi nya.

Ori yang menuliskan nama kami, kemudian abang yang mengatntar kami dan bapa tersebut berbicara dalam bahasa mereka, tak satu kalimat pun yang saya mengerti begitu yang lainnya. Ternyata kami diminta membayar uang masuk kedalam seikhlasnya. Ori memberikan uang dua uluh ribu.

Setelah itu, kami langsung melanjtukan perjalanan ke badui diantar oleh abang. Kami mengikutinya, dari belakang. Setiap dari kami membawa senter sedang kan ia gak. Padahal dia ada dipaling depan. Dia jadi pemandu kami. Belum beberapa jauh saya sudah ngos-ngosan saja. Karena malam gak tahu juga kiri kanan hutan yang bagaimana. Hanya tahu jalannya menanjak, menurun dan berbatu yang disusun. Kata bang tersebt para orang badui itu lah yang menyususnnya. Kami banyak bertanya-tanya tentang badui kepada abang tersebut. Sudah hamper pertengahan, obrolan kami masih berlanjut, dan 3 kali saya terpeleset yang batu saya pijak itu licin. Sudah ngos-ngosan dan ditertawakan kawan-kawan juga. Ngenes sudah. Dan akhirnya abang tersebut berbicara tarif, dia sebagai pemandu. Dengan polosnya kami berempat berpikir gratis atau se ikhlas tamu yang ngasih atas keramahan masyarakat badui ini. Ternayta, sangat mahal karena malam kami ditarifkan 350ribu.

Kami berempat kaget dan bingung juga, karena gak ada yang pegang cash segitu.tapi tetap melanjutkan perjalanan tersebut. Jauh juga perjalanan yang harus di tempuh utk sampai di badui. Saya sempat mengeluh kecapean. Gelap tanpa listrik.

Ternyata pelajaran yang kami dapat malam ini, di bohongi orang ini.terlalu polos juga kami berempat berpikir ada pemandu yangg gratis.


----------- bersambung.........

0 komentar:

Posting Komentar

 

Aluna Alanis's Life Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting