Merasa menjadi orang pertama yang diberi
tahu tentang kabar bahagia nya dari sekian orang terdekatnya. Tapi, tidak tahu
juga, saya yang menebak itu. Jangan dipermasalahkan. Melanjutkan cerita
kekaguman yang wajar kemarin. Sesungguhnya setiap apapun ada awal dan akhirnya.
Begitu juga kekaguman. Perasaan yang akhir-akhir ini meracuni pikiran ku untuk
diet dan menulis sebanyak-banyaknya karena ruang merah didalam tubuh ku tak
kuat membentang lapak tentang perasaan yang sudah banyak ku berkisah kepada
teman-teman. Seperti curahan hati dari perempuan yang sedang bergejolak hati
tentang jatuh cinta. Jatuh cinta yang masih biasa.
Cara memberitahu ku tentang kabar
bahagia itu, menurut ku tak biasa. Karena masih perasaan ku terkontaminasi
dengan kekaguman ku. Beberapa bulan terakhir, kami banyak berkomunikasi secara
tidak langsung. Terbawa juga perasaan ku. Dari mulai aku menebak dia yang
mengkode suatu hal, menebak perasaan, menerka keinginan nya.
Kami sering
bercerita, kami mulai terbuka saja tentang pemikiran-pemikiran yang tak biasa,
komunikasi kami pun mulai mengalir saja, tak sesegan kami baru kenal, tak
sehormat karena kami berbeda angkatan juga. Menyapa tak menyalam sudah biasa,
mengawal tak bermaksud pun iya, dan menghilang pun tanpa sebab.
Saling berkabar, saling mencemas, saling
penasaran dan itu yang terjadi. Aku pun seperti seorang psikolog membaca semua
gerak-gerik yang terjadi. Dan ku berani saja menyimpulkan Oh perasaan ku ini
ada benar nya. Tak sempat juga ku cerita pada siapapun. Hanya ada dalam perasaan ku sendiri.
Kami mulai bercerita tentang kehidupan
cintanya seorang adam kepada hawa. Aku mulai bergetar tak keruan, mulai merasa
percaya diri. Tapi, berakhir juga getar itu saat ia menyatakan ia kan mengakhiri
masa lajangnya pada tahun ini. Bagaimana tidak hilang getar ku, tak memungkinkan
juga aku adalah hawa nya, bukan dari kesiapanku, aku pun bukanlah tipenya
mungkin, tapi keahlianku mendramakan perasaan ini, aku terbawa suasana. Kami
melanjutkan cerita-cerita hidup ini. Kekagumanku bertambah kuat. Seorang adam yang sering
berkomunikasi dengan ku sekarang adalah tipe adam yang ku tunggu, yang menjadi
mimpi ku, dan menjadi asa jatuh cinta ku.
Kembali lagi kami bercerita, ya ia ingin
menikah tahun ini. Dan masih belum bercerita penuh siapa hawa yang beruntung
dengan cinta nya yang semakin membuat
aku menguatkan Cinta Nya. Aku belum merasa ia mulai menjauh ku, malah
aku merasa kami semakin akrab, sudah ku bilang tak ada lagi batas keseganan
diantara kami. Aku mulai berjaga-jaga ini perasaan drama yang ku punya.
Hari-hari masih bersama kami, kami pun
tak saling menjauh, masih seperti biasa, berdiskusi, dan saling memberi
inspirasi terlebih ia yang selalu memberi ku ispirasi. Banyak hal.
Tiba lah, waktunya ia semakin memberi
pujian kepada ku, ternyata aku merasakan sendiri pantangnya pujian kepada
perempuan. Ya begini jadinya, aku terbawa drama pujian itu. Aku semakin tak
mengerti dan sendiri mencoba-coba menebak apa hal ini. Kekaguman ku semakin
menjadi saja, seolah lupa perempuan yang ia dekati ini. Perempuan yang mencoba
tak mudah terpesona, tak mudah mengagumi, dan apalagi mencinta seperti laila
majnun.
Dan beberapa kali kebetulan yang terjadi
malah memotivasku untuk membenarkan perasaan ku dan meyakini suatu anugrah
Tuhan dengan seyakin-yakinnya.
Tibalah waktu ia memberi kabar bahagia
itu, tersedak berat ku dibuatnya. Ia akan menikah dua minggu lagi, saat ia
mengabarinya dan langsung mengirimkan ku undangan itu. Aku seakan terpuruk tak
beralasan. Bodoh sekali ku pikir. Malam
yang sangat membuatku berjalan saja tak kuat ketika menerima undangnan sakral
itu.
Menanti hari bahagianya pun tak merubah
komunikasi kami, malah semakin menyatakan kami adalah keluarga. Aku yang
terbawa perasaan seakan tersiksa. Haha. Berlebihan. Kekaguman ku pun terbatas.
Terbangun dari tidur ku yang selalu memimpikan kekaguman ini. Tersadar
kekaguman ku ia adalah sosok pengajar hidup bagi ku, mentor untuk kesuksesan
ku, dan teman yang saling memotivasi.
Aku mulai menjauh sebenarnya, tapi ia
malah ingin aku selalu berkomunikasi dengan nya dan juga dengan hawa yang ia
persuntingkan. Oh, sangat dramatis sekali apa yang ku lakukan dalam dunia ini.
Tak ada yang berubah, tak ada yang jauh
sebelum ia melafazkan akad kepada hawa yang ia pilihkan untuk menjadi
pendamping hidupnya.
Detik-detik ia akan melangsungkan akad,
tetap saja berkomunikasi dengan ku. Kami masih bercerita, mendoakan, dan ya
masih saling memotivasi. Aku masih normal, aku memutuskan ikhlaskan mengakhiri
kekaguman ku. Setelah akad itu selesai kami tak lagi seperti detik-detik tadi.
Aku mengerti etika begitu pun ia. Perasaan kemarin hanya cerita kemarin yang
ketika ku kisahkan ini hanya cerita masa lalu. Kekaguman itu ku akhiri setelah
terdengar ijab Kabul ia memepersunting hawa yang ia pilih. Sudah selesai, aku
bisikkan kepada perasaan ku. Tak ada hak lagi saya. Kami sebatas saudara. Aku
sebatas adik angkatan nya, dan murid kehidupan yang pernah belajar darinya. Aku
yang pernah kagum dengannya, bukan kekaguman ku ini hilang tapi terbatas.
Lelah aku jika mengikuti perasaan saat
berlangsungnya hari bahagianya dan aku menyaksikan sendiri dan mengiringi
keihklasan yang hampir saja melarikan diri.
Kekaguman terbatas, setelah ia menikah
kami baru beberapa hari saja ya tidak ada komunikasi apapun, memulai saja aku
masih takut akan dosa. Seperti ada yang hilang saja tentang perasaan ini. Hanya
doa dan ucapan selamat yang ku
bingkiskan untuk menguatkan keihlasan ku.
“ Barakalllah, selamat menempuh hidup
yang baru yang menuju kesempurnaan, semoga pernikahanmu sakinah, mawaddah,
warrahmah”.
Salam kenal mbakJ Alhamdullillah, bertambah jua
personil kelurga yang penuh inspirasi. Kalian lah mentor ku dalam menggapai
kesuksesan yang ku impikan.